Senin, 12 Januari 2015

ushul fiqh lanjutan


1. Qiyas
artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Rukun Qiyas
Rukun Qiyas ada empat;
Al-ashl (pokok)
Al-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik berupa Quran maupun Sunnah.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Al-ashl tidak mansukh. Artinya hukum syara' yang akan menjadi sumber pengqiyasan itu masih berlaku pada masa hidup Rasulullah. Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.
2. Hukum syara'. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara', bukan ketentuan hukum yang lain.
3. Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas.
Al-far'u (cabang)
Al-far'u ialah masalah yang hendak diqiyaskan yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Sebelum diqiyaskan tidak pernah ada nash lain yang menentukan hukumnya.
2. Ada kesamaan antara 'illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far'u.
3. Tidak terdapat dalil qath'i yang kandungannya berlawanan dengan al-far'u.
4. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al-far'u.
Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari Quran maupun Sunnah.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Hukum tersebut adalah hukum syara', bukan yang berkaitan dengan hukum aqliyyah atau adiyyah dan/atau lughawiyah.
2. 'Illah hukum tersebut dapat ditemukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami 'illahnya.
3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushshiyyah Rasulullah.
4. Hukum ashl tetap berlaku setelah waftnya Rasulullah, bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan.
'Illah
'Illah adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.
Mengenai rukun ini, agar dianggap sah sebagai 'illah, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Zhahir, yaitu 'illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain.
2. 'Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Dalam hal ini, tujuan hukum adalah jelas, yaitu kemaslahatan mukallaf di dunia dan akhirat, yaitu melahirkan manfaat atau menghindarkan kemudharatan.
3. Mundhabithah, yaitu 'illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya.
4. Mula'im wa munasib, yaitu suatu 'illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat uang dipandang sebagai 'illah.
5. Muta'addiyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nash hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.

2. Istihsan

Istihsan (Arab: استحسان) adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas ( Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang samar-samar ( Qiyas khafi, dll ) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat.[1]

Definisi

Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:[1]
  1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
  2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
  3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
  4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.

Bentuk-bentuk Istihsan

Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum uang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan hukum tesebut. Alasan kuat yang dimaksud adalah kemaslahatan.

Istihsan Istisna'i

Istihsan Istisna'i adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan bentuk kedua ini dibagi menjadi lima, yaitu:
  1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, kaerna ada nash yang mengecualikannya, baik nash tersebut Al-Qur’an atau Sunnah.
  2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’—baik yang sharih maupun sukuti—terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
  3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
  4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku—baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan—.
  5. Istihsan dengan maslahah al-mursalah. Yaitu mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.

3. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut bahasa berarti”mencapai kemaslahatan” dan menurut istilah yaitu:
المصلحة المرسلة الّتي يشرّع حكمالتحقيقها ولم يدلّ دليل شرعيّ  على اعتبارها اوالغائها
“maslahah mursalah ialah maslahah yang tidak disyari’atkan hukum oleh syari’at untuk menwujudkannya dan tidak ada dalil syara yang menganggapnya atau mengabaikannya”.
Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang syara’ atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang menjadi dasar syara menetapkan satu hukum,tetapi ada pula sesuatu yang munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.

Kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum

Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang paling subur untuk menetapkan hukum yang tak ada nashnya dan jumhur ulama menganggap maslahah mursalah sebagai hujjah syari’at karena:
  1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap kemaslahatannya ,jika hukum tidak menampung untuk kemaslahatan manusia yang dapat diterima,berarti kurang sempurnalah syari’at mungkin juga beku.
  2. Para shahabat dan tabi’in telah mentapkan hukum berdasarkan kemaslahatan,seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan musyaf al-qur’an demi kemaslahatan umum.
Diantara ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah imam malik,dengan alasan,bahwa tuhan mengutus rasulnya untuk kemaslahatan manusia,maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki syara’,sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (١٠٧)
 tidaklah semata-mata aku mngutusmu (muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (Q.S  Al-Anbiya 107).
Sedangkan menurut imam ahmad,bahwa maslahah mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tidak ada nash dan ijma’.
Disamping orang yang menerima kehujjahan maslahah mursalah ada juga ulama yang menolak untuk dijadikan dasar hukum,seperi imam syafi’i,dengan alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan istihsan,selain itu alasannya ialah:
  1. Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga kemaslahatan manusi dalam keadaaan terlantar tanpa petunjuk,petunjuk itu harus berdasarkan kepada ibarat nash,kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman kepada i’tibar nash bukanlah kemaslahatan yang hakiki.
  2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada maslahah mursalah yang terlepas dari syara’ tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu,sedangkan hawa nafsu tak akan mampu memandang kemaslahatan yang hakiki.
  3. Pembinaan hukum yang didasarkan kepada maslahah mursalah berarti membuka pintu bagi keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak akan dapat terkendali.

Syarat-syarat berpegang kepada maslahah mursalah

Para ahi ushul yang menggunakan maslahah mursalah tidak sewenang-wenang menetapkan kemaslahatan untuk dijadikan dasar keputusan ,tetapi mereka berhati-hati untuk menjaga agar tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu,maka mereka memberikan syarat –syarat untuk berpegang kepada maslahah mursalah ,syarat-syarat itu adalah:
  1. Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahah mursalah harus kemaslahatan yang hakiki,bukan kemaslahatan yangberdasarkan akal (Waham=sangkaan),yaitu yang biasa menghasilkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan.
  2. Mashlih mursalah hanya berlaku dalam bidang muamalah bukan pada bidang ubudiah.
  3. Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahah mursalah itu harus kemaslahatan untuk umum,bukan untuk perorangan atau golongan.
  4. Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan syara’ atau ijma’.
  5. Usaha utsaman bin affan menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu musyaf ,menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.
  6. Ulama syafi’iah mewajibkan qishash atas orang banyak yang membunuh seseorang.
  7. Tindakan umar bin khattab tentang tidak menjalankan hukum potong tangan pencuri yang mencuri dalam keadaan pada masa paceklik.

Contoh-contoh maslahah mursalah

  1. Tindakan abu bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat,itu adalah demi kemaslahatan.
  2. Mensyaratkan adanya surat kawin,untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
  3. Menulis huruf al-qur’an kepada huruf latin.
  4. Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang,karena ada gelombang besar yang menjadikan  kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
Demikian kajian ushul fiqh tentang maslahah mursalah, semoga bermanfaat

4. Ihtisab
 berarti hitungan, koreksi, penilaian. Jika kita kaji berdasarkan hadits Rasulullah saw, makna dari ihtisab adalah suatu koreksi diri dan penilaian sendiri pada amal kita selama Ramadhan, apakah amalan itu akan mendapatkan ridho dari Allah swt. Sehingga ihtisab akan membawa pada pengharapan terhadap ridho Allah swt.
Pada bulan Ramadhan, sebaiknya kita lebih banyak introspeksi diri, baik dari amal perbuatan kita, maupun dari ibadah-ibadah yang kita lakukan. Bulan ini dapat dijadikan sebagai momen evaluasi diri. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda,
Berapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapat manfaat apa-apa dari puasanya kecuali hanyalah lapar dan dahaga(HR. Ibnu Majah)
Dari hadits di atas, Rasulullah menjelaskan bagaimana banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apapun termasuk ridho Allah swt kecuali lapar dan haus. Sehingga untuk mencapai suatu ridho Allah, hendaknya puasa yang dilakukan berdasarkan iman dan ihtisab dalam hati.
Sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah swt dan lebih menjadikan hati kita peka terhadap sesama manusia, puasa yang kita lakukan bersama dengan ibadah-ibadah yang lain, seharusnya lebih berdasarkan pada keimanan yang kuat dan melakukan ihtisab dari amal-amal yang kita lakukan. Allah swt berfirman,
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika hanya seberat biji dzarrah pun, pasti Kami mendatangkan nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.(QS. Al Anbiya : 47)
Semoga Allah swt meridhoi amal ibadah kita selama Ramadhan, dan semoga kita dapat menjadikan bulan ini sebagai sarana introspeksi dan evaluasi diri untuk mempertebal dan memperkuat iman di dalam hati. Wallahu ‘alam bish showab.
            5 . Saddu Dzari’ah
Dhobith ketujuh ini terdiri dari dua kalimat:
1. Saddu artinya : menutup celah atau mencegah sesuatu
2. Dzari’ah, secara bahasa bermakna wasilah (pengantar/penghubung).
Dan secara istilah, didefinisikan oleh para ulama dengan definisi-definisi yang hampir sama, kesimpulannya yaitu setiap amalan yang zhohirnya boleh namun bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang atau diharamkan.
Jadi Saddu Dzari’ah adalah mencegah wasilah-wasilah yang zhohirnya boleh namun bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang guna menolak terjadinya kerusakan.
Dhobith ketujuh ini adalah salah satu kaidah pokok dalam syari’at Islam dan didukung oleh dalil yang sangat banyak dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Diantaranya, adalah firman Allah Ta’ala :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am : 108)
Sisi pendalilan : Allah Tabaraka wa Ta’ala melarang dari mencerca sesembahan-sesembahan orang-orang kafir jangan sampai hal tersebut menyebabkan mereka mencerca Allah.
Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah : “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah : 104)
Kalimat “Raina” dalam bahasa orang Yahudi adalah cercaan bagi orang yang diajak bicara maka hal tersebut dilarang sebab bisa mengantar orang-orang Yahudi untuk mencerca Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam karenanya.
Berkata Ibnu Rusyd : “Bab-bab Dzari’ah dalam Al-Kitab dan Sunnah panjang penyebutannya dan tidak mungkin dibatasi”.
Dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in menyebutkan sembilan puluh sembilan contah Saddu Dzari’ah dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dzari’ah dari sisi wajibnya untuk ditutup atau dicegah terbagi tiga dalam pendapat para ulama :
Satu : Apa yang disepakati oleh umat tentang wajibnya ditutup atau dicegah. Contohnya seperti dalam kandungan dua ayat di atas.
Dua : Apa yang disepakati oleh para ulama tentang tidak wajibnya untuk ditutup. Seperti melarang menanam anggur dengan alasan akan dijadikan sebagai minuman yang memabukkan.
Tiga : Apa yang terjadi padanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Yaitu pada wasilah-wasilah yang boleh namun kebanyakannya bisa mengantar kepada suatu yang diharamkan.
Dan tentunya yang benar bahwa kaidah Saddu Dzari’ah ini berlaku berdasarkan dalil-dalil diatas.
Namun perlu diketahui bahwa penerapan kaidah Saddu Dzari’ah ini bila perkara tersebut bisa mengantar kepada suatu kerusakan atau perkara yang diharamkan secara pasti atau mendominasi. Wallahu A’lam.
Demikianlah beberapa dhobith yang merupakan pijakan dalam mu’amalat. Dan harus diingat bahwa siapa yang ingin masuk ke dalam suatu mu’amalat maka ia harus mempelajari hukum-hukum seputar mu’amalat tersebut agar mu’amalatnya benar dan jauh dari syubhat atau perkara yang diharamkan.
Karena itu para ulama salaf sangat mencela orang masuk ke dalam mu’amalat dan tidak faham akan hukum-hukumnya. Berkata Umar bin Khaththob radhiyallahu ‘anhu, “Jangan ada yang berdagang di pasar kami kecuali orang yang Faqih (faham hukum) kalau tidak maka dia akan makan riba”.
Dan siapa memahami tujuh dhobith di atas maka ia telah memiliki bekal yang baik dalam bermu’amalat. Dan siapa memahami tujuh dhobith di atas maka akan lebih mudah untuk memahami beberapa bentuk mu’amalat kekinian seperti kredit dan beberapa bentuknya, hadiah promosi dan beberapa jenisnya, bonus, diskon, garansi, asuransi, kartu ATM, kartu kredit, perlombaan atau pertandingan dan aneka ragamya, undian dan berbagai bentuknya, dan lain-lainnya yang dengan izin Allah akan diuraikan secara rinci dalam pembahasan ini.
Uraian tujuh dhobith di atas disarikan dari rujukan yang sangat banyak. Berikut ini beberapa rujukan utama kami :
1. Asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah jilid delapan.
2. AL-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah.
3. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih.
4. Al-Hawafiz Al-Tijariyah At-Taswiqiyah Wa Ahkamuha fil Fiqhil Islamy. Khalid bin ‘Abdullah Al-Mushlih.
5. Qawa’idul Buyu’ wa Fara`idul Furu’. As-Su’aidany.
6. Al-Farq Bainal Bai’ war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah. Oleh Syaikh Sholih bin ‘Abdullah Al-Fauzan.
7. Qararat Wa Taushiyat Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy.
8. Syarah Kitabul Buyu’ min Bulughul Maram. Oleh Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-syaikh.

MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar